Mungkin tidak semua orang menyukai film animasi, khususnya mereka yang merasa terlalu dewasa untuk menonton film yang seolah-olah ditujukan hanya untuk anak-anak. Namun sebenarnya, kalau kita lihat dari banyaknya film animasi layar lebar yang mengusung tema kekanak-kanakan atau bahkan mengusung cerita tentang classic fairy tale, sebenarnya justru film animasi lah yang banyak memberikan kesan moral dan terkadang bahkan mampu dapat jauh lebih menyentuh sisi emosional para penonton dibandingkan dengan film lainnya. Dan terkadang, sebagai orang yang sudah dewasa pun, kita membutuhkan pesan-pesan serta hiburan yang terkandung didalam film-film animasi, karena tidak dapat dipungkiri, jiwa kanak-kanak didalam setiap individu pada dasarnya tidak pernah padam. Itulah sebabnya kenapa pria dewasa gemar dengan gadget atau otomotif dan wanita dewasa gemar dengan tas, sepatu dan perhiasan. Karena pada dasarnya barang-barang tersebut adalah “mainan”.
Tidak percaya bahwa anda yang sudah dewasa pun bisa menikmati film-film animasi seperti layaknya ketika kita kecil atau seperti anak/keponakan/sepupu/cucu anda dirumah? Mungkin inilah saatnya anda mulai menyaksikan film-film animasi, dijamin anda akan terhibur, terharu dan teringat akan hal-hal penting dalam hidup yang mungkin telah kita lupakan lantaran hidup yang menjadi terlalu keras ketika kita beranjak dewasa. Untuk itu, VEI menyarankan anda untuk menonton salah satu film animasi “A Monster in Paris” besutan sutradara dan animator asal Perancis Bibo Bergeron yang juga pernah menyutradarai A Road To Eldorado (2000) dan Shark’s Tale (2007) untuk DreamWorks Animation Studio.
Film “A Monster in Paris” yang memiliki judul asli “Un Monstre a Paris” ini sedikit berbeda dengan film-film animasi yang sering kita lihat. Mungkin ini dikarenakan “A Monster in Paris” bukanlah lahiran salah satu studio besar di Hollywood, melainkan merupakan bayi yang lahir dari sebuah studio di Perancis sehingga membuat “A Monster in Paris” ini menjadi lebih sederhana. Namun seperti kata pepatah, less is more, kesedarhanaan “A Monster In Paris” tidak lantas membuat film ini jauh dari kesan mewah dan baik. Justru kesederhanaannya lah yang membuat film ini lebih dapat menonjolkan sisi keindahan dan romantisnya atmosfir kota Paris, deretan lagu yang mengalun dan sangat ear catching serta pesan moral “don’t judge a book by its cover” yang ingin disampaikan.
Berlatar belakang di Paris pada tahun 1910 dimana pada saat itu kota Paris sedang menghadapi masalah banjir akibat meluapnya sungai Seine. Dan ternyata bukan hanya masalah banjir saja yang dihadapi oleh warga Paris. Ada ancaman monster yang mengintai, yang secara tidak sengaja diciptakan oleh dua orang sahabat Emile (Jay Harrington) dan Raoul (Adam Goldberg) yang mencampur dua cairan kimia berbahaya di dalam sebuah laboratorium penelitian yang terbengkalai dan mengubah seekor kutu kecil menjadi raksasa dan berkeliaran di kota Paris.
Tentu saja warga Paris kocar kacir melihat kutu berukuran raksasa tersebut berkeliaran sekeliling kota dan kutu kecil tak berdosa yang berubah menjadi raksasa karena kecelakaan di lab pun mendapat image buruk dari warga Paris. Hal ini menyebabkan Kepala Kepolisian Paris Maynott (Danny Huston) yang sedang berusaha menarik simpati masyarakat berusaha untuk menangkap monster kutu tersebut.
Sementara si monster sendiri, walaupun penampilannya besar dan menyeramkan justru sebenarnya sedih dan ketakutan dengan reaksi para warga dan kepolisian. Ia sebenarnya hanyalah kutu kecil yang tak berdosa dan tidak memiliki niat jahat terhadap siapapun. Seperti layaknya mahluk hidup lainnya, yang ia inginkan adalah perhatian dan kasih sayang. Dan untung saja ia akhirnya mendapatkan hal tersebut dari seorang penyanyi klub yang sukses, Lucille (Vanessa Paradis). Lucille, tidak seperti kebanyakan orang lainnya, mampu mengesampingkan bentuk fisik sang monster yang menyeramkan dan menyadari bahwa sang kutu raksasa yang kemudian ia beri nama Francceur sebenarnya hanyalah seekor kutu baik yang tidak bersalah dan hanya menginginkan kasih sayang. Disinilah tema “don’t judge a book by its cover” yang diusung oleh film ini terlihat sangat kental dan meyakinkan.
Walaupun cerita dan pesan yang dibawakan oleh film ini sangat sederhana, namun sang sutradara dan penulis naskah, Bibo Bergeron dan Stephane Kazandjian mampu mengolah dan mengeksplor kesederhanaan cerita ini menjadi begitu menarik. Ditambah dengan jajaran pengisi suara yang patut diacungi jempol karena penonton dapat benar-benar merasakan chemistry yang tercipta diantara para karakter dan deretan lagu-lagu yang indah dan catchy yang kemungkinan besar bisa dinominasikan untuk piala Oscar berikutnya serta teknis animasi dan CGI yang benar-benar menggambarkan suasana romantis kota Paris. “A Monster in Paris” adalah sebuah film yang wajib ditonton oleh seluruh anggota Keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar